Minggu, 08 Juli 2007

Diskusi Filsafat Islam

  1. Pertanyaan :

Ada kesan yang berkembang dikalangan Sarjana Barat, baik Muslim maupun non-Muslim, bahwa filsafat Filsafat Islam adalah Filsafat Yunani yang di-Arab-kan. Apa pendapat Anda tentang kesan itu? Apa saja yang Anda ketahui tentang perbedaan antara filsafat Yunani dan filsafat Islam?


Jawaban :

Segi semantik: perkataan filsafat berasal dari bahasa Arab 'falsafah', yang berasal dari bahasa Yunani, 'philosophia', yang berarti 'philos' = cinta, suka (loving), dan 'sophia' = pengetahuan, hikmah(wisdom). Jadi 'philosophia' berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran.

Memang filsafat yang berkembang di dunia islam adalah filsafat paripatetik, atau filsafat yang merupakan perkembangan dari filsafat yang ada terdahulu. para filsuf dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam (dan juga beberapa orang Yahudi!), yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani. Bahkan ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa. Nama-nama beberapa filsuf Timur Tengah: Avicenna(Ibnu Sina), Ibnu Tufail, Kahlil Gibran (aliran romantisme; kalau boleh disebut bergitu)dan Averroes.

Di seluruh dunia, banyak orang yang menyatakan hal yang sama dan membangun tradisi filsafat, menanggapi dan meneruskan banyak karya-karya sesama mereka. Oleh karena itu filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan budaya. Pada dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Timur Tengah”.



  1. Pertanyaan :

Al-Qur’an yang diyakini sebagai sumber paling otoritatif dan komprehensif untuk menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan, masih menyisakan sekaligus memerlukan kerja keras untuk menerjemahkannya ke dalam idiom-idiom budaya, ideology, politik, ekonomi, da social-keagamaan secara luas. Bahkan, ada ungkapan sinis dan miris dari kalangan anti-Islam bahwa agama (Islam dengan sumber utamanya, Al-Qur’an) tidaklah lebih dari sekedar dongeng, alegori dan legenda. Apa pendapat Anda mengenai hal itu? Bagaimana sejatinya Al-Qur’an itu diejewantahkan ke dalam aneka bentuk kehidupan tersebut?



Jawaban :

Kebanyakan dari mereka terlalu sinis dan bahkan terlalu fanatic sehingga tidak melihat kebenaran sebagai jalan kehidupan yang dipilih. Al-Qur’an yang sudah jelas-jelas diakui tingkat komperhensivnya tentunya bukan hanya sekedar dongeng, alegori atau bahkan legenda, justru dengan pandangan seperti itu menjadikan mereka (kalangan anti-Islam) sebagai orang yang kurang “rasional”. Menurut Muhammad Arkoun, ijtihad harus berpijak dari pemfungsian dasar antara Allah (Tuhan), manusia, dan filsafat. Ijtihad model ini bisa lebih mampu membumi dengan segala ruang dan waktu karena formatnya bukan harga mati.

Cara pandang demikian berimplikasi terhadap apa yang disebut sebagai “kebenaran”. Kebenaran selalu diukur dengan (makna leksikal) teks, tidak ada kebenaran di luar teks. Kalaupun dengan nalar manusia bisa mencari kebenarannya sendiri, tetap saja harus di­konfirmasi kepada teks. Kalau dalam proses konfirmasi itu dianggap gagal, maka apa yang dikatakan nalar sebagai “kebenaran” dengan sendirinya gagal pula. Dari hal tersebut, tafsir dalam agama menjadi penting teruatama terkait dengan tafsir terhadap Al-Qur’an yang merupakan sumber paling otorotatif yang diakui sebagai sumber kebenaran dalam Islam. Dalam khazanah Islam, proses penafsiran ini telah melahirkan berjilid-jilid kitab dengan model berbeda-beda, mulai dari Tahlîlî sampai Mawdhû‘Î meski corak nalarnya tetap bayani. Akibat corak nalar ini, teks yang sebenarnya merupakan simbol bahasa dan medium guna menyampaikan sejumlah gagasan dianggap sebagai segala-galanya. Gagasan Tuhan menjadi identik dengan teks itu sendiri. Pengg­a­lian makna me­lampaui teks men­jadi barang tabu, bahkan dianggap “mem­perkosa” Tuhan untuk mengikuti pendapat manusia.

Sehingga dari beberapa alasan tersebut maka sebenarnya Al-quran itu bisa dipakai dalam berbagai khazanah mengingat sifat Al-Qur’an sendiri yang sangat universaldan fleksibel terhadap pemaknaan kehidupan.

5 komentar:

Anonim mengatakan...

Artikel-artikel di blog ini bagus-bagus. Coba lebih dipopulerkan lagi di Lintasberita.com akan lebih berguna buat pembaca di seluruh tanah air. Dan kami juga telah memiliki plugin untuk Blogspot dengan installasi mudah. Salam!

http://www.lintasberita.com/Lokal/Diskusi_Filsafat_Islam/

soebadar-wn mengatakan...

salam, Bung!!! paparan-paparannya aduhay... sebuah metode yang bagi saya terasa unik dari Bung ialah, metode dialektika ala Socrates. lantaran itu, Anda nampaknya Socratesian. namun, kalau dulu Socrates mendatangi audiens-nya, Bung sekarang meramu itu semua di sebuah media maya ini... salam philosophia... salam kenal!!!

Faizal Bin Mustafa mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Faizal Bin Mustafa mengatakan...

cok jancok gk masuk di otakq

Faizal Bin Mustafa mengatakan...

cok jancok gk masuk di otakq